Perjalanan dari Desa Dintor hingga ke Labuan Bajo ternyata memakan waktu yang cukup lama juga. Kami meninggalkan Desa Dintor tepat pukul 13:00 dan tiba di penginapan di Labuan Bajo pukul 20:00. Selama perjalanan kami memang sempat mampir beberapa menit untuk memandangi sawah jarring laba-laba dan mampir sekitar 1 jam untuk memenuhi hasrat menikmati semangkuk dua mangkuk indomi rebus kebanggaan bangsa. Kebudayaan aseli Indonesia memang harus dilestarikan.
Kami menurunkan barang-barang dari mobil dan mengucapkan salam perpisahan dengan Pak Gusti dan Mister Steve. Malam ini kami tidur di camping-style hostel dan 2 malam berikutnya kami akan menginap di kapal, atau istilah kerennya live on board.
***
Kamis, 29 September 2016
Saya menikmati scramble eggs sebagai menu sarapan pagi sementara teman-teman lainnya menuntaskan final packing. Tidak semua barang kami bawa, hanya kebutuhan bertualang selama 3 hari; lainnya kami titipkan di Bajo View, tempat kami menginap. Pukul 08:30 kami melangkahkan kaki menuju Pelabuhan Labuan Bajo yang memang berjarak sangat dekat dengan Bajo View. Setelah mencari-cari kapal yang akan membawa kami berkeliling dari pulau ke pulau selama 3 hari ke depan diantara deretan kapal yang parkir berdesak-desakan, akhirnya kami menemukan sebuah kapal kayu bernama “Dua Putra”. Tak lama setelah kami menginjakkan kaki di lantai kapal, Pak Ridwan sang kapten meminta kami untuk mencopot alas kaki.
Lalu datanglah Ibu Kadek sang pemilik kapal dengan mengendarai sepeda motor. Dia membawa beberapa kaki katak alias fin baru untuk kami sewa. Selesai berurusan dengan fin, kami menaruh barang-barang di kamar masing-masing. Ada 2 kamar di kapal itu. Kamar di lantai bawah digunakan oleh Anet dan para cowok, sementara saya, Vika, Didito, dan Fitri memilih kamar di lantai atas; tidak mengapa lebih sempit, yang penting dekat dengan kamar mandi.
09:45 – Kapal membuang sauh dan perlahan menjauhi Pelabuhan Labuan Bajo. Kami naik ke geladak, menikmati semilir angin laut yang membuai mendatangkan kantuk. Cuaca sangat cerah. Langit biru jernih dan awan putih berarak berpadu sempurna dengan warna coklat dan hijau pulau-pulau yang tersebar di perairan. Tidak bosan rasanya memandangi pemandangan yang tidak akan ditemui di ibukota, walaupun sinyal semakin lama semakin hilang. Eksistensi diri terlupakan sejenak.
***
Pulau Rinca
12:00 – Matahari sedang bersinar terik-teriknya saat kami merapat di tujuan pertama. Di gerbang bertuliskan Loh Buaya sudah menunggu beberapa laki-laki berseragam hijau kecoklatan. Selamat datang di Pulau Rinca, pulau yang dikukuhkan sebagai UNESCO World’s Heritage pada tahun 1991. Pulau Rinca yang terletak di Kabupaten Manggarai Barat termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Komodo bersama dengan Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Gili Motang. Konon, komodo yang berada di Pulau Rinca lebih ganas daripada di pulau lainnya, jumlahnya juga lebih banyak dibandingkan yang terdapat di Pulau Komodo.
Khusus untuk para perempuan yang saat berkunjung sedang menstruasi sebaiknya memberitahu ranger saat briefing sebelum memulai trekking, karena komodo sangat menyukai bau termasuk bau darah, dan penciuman mereka mencapai radius 5 kilometer. Apalagi, komodo bisa berlari hingga 18 kilometer per jam. Apalah artinya kemampuan gw lari dari kenyataan *eh*
Dan… hari pertama sail komodo ini tepat dengan hari pertama saya mendapatkan menstruasi, di mana bagi saya hari-hari pertama masa haid adalah hari di mana darah keluar cukup banyak. Sebagai pengunjung yang taat aturan, saya pun lapor diri pada mamang ranger saat briefing setibanya di Pulau Rinca. Setiap pengunjung yang datang ke Taman Nasional Komodo memang harus didampingi oleh ranger, sebutan bagi pria-pria perkasa pembawa tongkat penghalau komodo yang dikhawatirkan mengganggu ketenangan wisatawan. Mamang ranger mengatakan tidak perlu khawatir dan jangan mengeluarkan gerakan-gerakan berlebihan, tidak berisik dan tidak panik, selain itu bagi perempuan yang sedang menstruasi diharapkan untuk tidak jauh-jauh dari mamang ranger. Bagaimanapun juga komodo merupakan binatang buas dengan insting pemburu. Di balik sikap malas-malasan dengan mata terkantuk-kantuknya sebenarnya mereka sedang membidik target santapan.
Begitu selesai briefing dan memulai trekking, kami langsung bertemu dengan beberapa ekor komodo yang tampak sedang beristirahat menunggu cemilan di kolong dapur. Saya bersiaga. Tapi nampaknya lima ekor komodo itu sedang kenyang dan senang hatinya. Mereka tidak mengeluarkan reaksi apapun saat rombongan kami mendekat. Selain kami, ada beberapa rombongan turis asing. Kami semua berdiri mengelilingi komodo yang tidur-tiduran, sebagian pengunjung antri berfoto bersama komodo. Mamang ranger selain bertugas menjaga pengunjung, juga mengemban tanggung jawab sebagai fotografer.
Di Pulau Rinca kami memilih short trail trekking. Setelah mengamati perilaku komodo di kolong dapur, kami melanjutkan trekking dengan harapan bertemu komodo lainnya di perjalanan; tentu tak lupa berdoa semoga tidak ada komodo yang tiba-tiba menyergap dari belakang. Pulau Rinca, sebagaimana pulau-pulau lain di gugusan Kepulauan Komodo, memiliki kontur berbukit dan berbatu-batu dengan sedikit sekali pepohonan sehingga pemandangan gersang berdebu dengan hawa panas menyengat menjadi hal yang nampaknya biasa. Selalu siap dengan air minum untuk mencegah dehidrasi dan gunakan sunblock untuk menghalau kegosongan.
Selama trekking kami tidak lagi berpapasan dengan komodo. Hanya dengan tulang-belulang mangsanya yang bertebaran di antara ilalang kami bertemu. Itupun hanya tulang bagian kepala. Komodo memang pantang memubazirkan makanan; hingga tulang-tulang mangsanya akan dihabiskan, kecuali tulang bagian kepala. Memakan tulang bagian kepala konon dapat menyebabkan kematian.
Selain komodo, ada hewan liar lain yang patut dicemaskan. Ular hijau daun, ular derik, dan ular kobra. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika mereka tiba-tiba menampakkan diri.
***
Pukul 13:30 kami sudah kembali ke kapal dan langsung disambut oleh para anak buah kapal yang sigap menyajikan hasil karya mereka di dapur. Ini makan siang pertama kami di kapal! Dan tidak menyangka menunya akan sedemikian mewah dengan rasa yang jauh dari kata mengecewakan. Alhamdulillah!
15:30 – kami merapat di tujuan selanjutnya; sebuah pulau curam dan berbatu yang merupakan pulau terbesar ketiga dalam gugusan Taman Nasional Komodo.
***
Pulau Padar
Kapal yang membawa kami tak bisa merapat terlalu dekat ke bibir pantai karena takut merusak karang disekitarnya. Kamipun mencapai daratan dengan menaiki kasur-perahu; dua orang bergantian hingga seluruh anggota kelompok menapak di pulau tak berpenghuni ini.
Saya, Vika, dan Didito berpandang-pandangan, menatap nanar perbukitan tandus dan gersang yang tampak curam yang terbentang di hadapan. Konon pemandangan yang akan didapat di puncak pendakian nanti akan sungguh sepadan dengan perjalanan menyisir jalan berpasir dan bebatuan itu.
Agak menciut nyali, apalagi saat itu matahari masih bersinar dengan gagah dan tidak mengurangi kegarangannya sedikit pun sepanjang sore. Baru beberapa langkah mendaki, keringat sudah membanjiri baju.
Pulau Padar berkontur berbukit-bukit, dengan sedikitnya pepohonan. Belum lagi dengan matahari yang terus-menerus bersinar, hawa panas menambah tandus dan gersangnya pulau ini. Tidak ada komodo di pulau ini, katanya sih karena rantai makanan yang terputus. Namun beberapa waktu lalu sempat ada berita bahwa terlihat satu sosok seperti komodo yang tertangkap oleh kamera seorang pengunjung yang sedang berpose. Benar atau tidaknya berita itu tidak diketahui sampai sekarang.
Selama pendakian kami beberapa kali berhenti untuk mengatur nafas dan mengurangi kelelahan. Tapi setelah sekitar 30 menit mendaki, the view was indeed worth seeing and surely worth hiking!
Tiga teluk yang memeluk Pulau Padar membentuk lengkungan garis pantai yang indah, berpadu sempurna dengan gradasi biru dan hijau warna air, putihnya pasir pantai, dan coklat berdebunya perbukitan. Kapal-kapal yang nampak di kejauhan bagaikan aksesori pemanis pada ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Rasa lelah hilang sudah. Masalah nanti turunnya bagaimana karena harus kembali melewati turunan curam… yasudahlah yaaa nggak usah dipikirin. Mau nggak mau, bisa nggak bisa toh harus kembali ke kapal juga kan? Hihihi…
***
Menjelang terbenamnya matahari, kami pun bergegas kembali ke kapal. Malam ini kami beristirahat di perairan Pulau Padar. Makan malam disajikan sekitar pukul 19:30, kemudian listrik dimatikan pukul 24:00. Kami memejamkan mata dalam kamar sempit, sambil berharap ada sedikit semilir angina untuk menyejukkan malam yang mulai terasa gerah.
***
Jumat, 30 September 2016
Saya terbangun pukul 05:30 karena gerungan suara generator untuk menyalakan listrik. Kapal kembali berlayar menuju destinasi berikutnya. Kami bergantian mandi dengan keterbatasan air dan menikmati sarapan. Pukul 07:15 kapal merapat di satu dermaga panjang.
Pulau Komodo
Populasi komodo terbanyak kedua berada di pulau ini. Seperti biasa, sebelum memulai trekking pengunjung harus menghadiri briefing dengan ranger terlebih dahulu. Saya pun tak lupa lapor diri. Belajar dari pengalaman di Pulau Rinca, saya merasa lebih tenang mengingat komodo ternyata lebih kalem daripada yang dibayangkan. Jadi sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sepertinya.
Pemandangan di Pulau Komodo cenderung lebih bervariasi dibandingkan dengan Pulau Rinca. Kami menemukan lubang tempat komodo menjaga telur-telurnya, melihat satwa liar lainnya yang berkeliaran sebagai calon santapan komodo, mengamati kotoran komodo dari dekat, juga mengintip kerbau yang sedang berkubang lumpur di tengah cuaca yang panasnya membara saat itu.
Selama trekking kami bertemu dengan beberapa komodo yang, sama seperti di Pulau Rinca, tampak keriput dan ogah-ogahan berbaring di tanah. Matanya tampak sayu, ada juga yang terpejam, konon mereka ini komodo-komodo senior yang sudah lanjut usia. Mereka tidak mempedulikan antusiasme pengunjung yang ingin berfoto dengan mereka.
Sesekali saya memperhatikan pohon-pohon, khawatir jika ada bayi komodo yang bersembunyi. Bayi komodo yang baru lahir memang akan langsung naik ke pohon untuk mengamankan diriya dari serangan ibunya. Mereka baru akan turun dari pohon dan hidup di daratan setelah sekitar 3 tahun. Induk komodo yang tampak berjaga di sarang sebenarnta bukan sedang menjaga buah hatinya, tapi sedang menjaga telur yang akan menjadi makanan mereka setelah telur itu menetas. Pagi hingga siang hari komodo-komodo akan berjemur dan jika matahari dirasa sudah cukup panas, mereka akan kembali berteduh di bawah pohon atau di kolong dapur.
Kami hampir mendekati akhir dari 90 menit short trail trekking ketika bertemu dengan 4 ekor komodo di tengah lapang yang cukup terbuka. Dibandingkan dengan komodo-komodo yang kami temui sebelumnya, 4 ekor komodo kali ini tampak lebih segar, lebih besar, dan lebih bersemangat; tentu tetap dengan gaya andalan mereka: bermalasan-malasan.
Tapi satu ekor komodo langsung menaikkan lehernya begitu rombongan kami mendekat. Dan sejak itu kepalanya selalu menoleh dan tatapan matanya tak pernah lepas dari saya. Seriously, itu pengalaman yang berkesan dan cukup menegangkan. Walau konon komodo di Pulau Rinca lebih ganas, tapi yang saya alami justru komodo di Pulau Komodo yang bereaksi terhadap perempuan yang sedang menstruasi.
Blessing in disguise, kehadiran saya yang memancing gerakan komodo menyenangkan teman-teman. Mereka langsung antusias dan giat berfoto karena komodonya akan tampak bagus dalam bingkai kamera: binatang buas yang menciutkan nyali lawan hanya dengan mengangkat kepala, dan sesekali menjulurkan lidah bercabangnya.
Reaksi satu ekor komodo tersebut ternyata juga memancing tiga ekor komodo lain yang ada didekatnya. Mereka pun ikut-ikutan bereaksi walau tidak sampai mengangkat kepala. Alhasil, jadilah saya satu-satunya orang yang tidak berfoto bersama komodo. Saya tidak cukup berani mengambil resiko lebih dekat lagi, karena ke manapun saya bergerak, sang komodo setia mengikuti.
Kami bernafas lega setelah tiba kembali di kapal pukul 09:15. Selesai sudah eksplorasi daratan dalam sail komodo ini. Sudah waktunya main air.